Iklan


 

NETIZEN REPORT : MENYOAL KORUPSI BERJAMAAH DI PARLEMEN DAERAH

Minggu, 08 Oktober 2017 | 01:20 WIB Last Updated 2017-10-07T17:21:09Z

Ilustrasi
POLEWALITERKINI.NET – Dugaan korupsi berjamaah yang dilakukan pimpinan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Sulawesi Barat (Sulbar) adalah pemberitaan yang begitu hangat memenuhi beranda koran-koran lokal hari-hari terakhir.

Banyak pihak yang merasa tergelitik sebab tindakan manipulasi tersebut secara matematis jumlahnya tidak sedikit dan melibatkan petinggi-petinggi parlemen secara massal. Terlebih bila kita membaca secara seksama peristiwa korupsi di salah satu provinsi termuda ini, rupanya kasus ini adalah fenomena korupsi yang paling mencegangkan dan mengejutkan publik Sulbar.

Indikasi kuat bahwa para dewan yang terhormat itu ditengarai melakukan penyelewengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dibeberkan oleh Kepala Kajati Sulsebar, Jan S Maringka saat jumpa pers, Rabu (4/10/2017) yang menetapkan 4 unsur pimpinan DPRD Sulbar sebagai tersangka, dimana mereka adalah unsur pimpinan yang paling bertanggungjawab dalam dalam kasus dugaan penyimpangan APBD Sulbar (TribunMakassar.com).

Melihat gejala ini, tentu kita perlu mengawal dan menghargai proses hukum yang sedang berlangsung serta berharap kepada penegak hukum agar benar-benar menjalankan tanggung jawabnya secara profesional.

Sebab, kasus ini tentu saja beririsan dengan dinamika percaturan para elit politik di daerah. Dimana kendati pun semua mata lebih banyak tertuju pada keterlibatan anggota DPR, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya kolusi (Persekongkolan) antara legislatif dan eksekutif. Apalagi kita demikian mafhum bahwasanya sudah menjadi rahasia umum di republik ini, sering kali pemberantasan korupsi di tingkat elit masih dilakukan secara tebang pilih.

Mengapa eksekutif ikut terseret? Kita memahami bahwa secara prosedural rambu-rambu yang mengatur roda perputaran kebijakan keuangan daerah tidak hanya diusulkan dan dilakukan oleh para legislator (anggota dewan), tetapi juga pos-pos pengesahan dan penganggarannya pasti melalui jalur pintu masuk para pengambil keputusan di tingkat eksekutif. Artinya, secara administratif segala usulan-usulan anggaran pembelanjaan daerah, tentu saja diketahui oleh pejabat pemerintah setempat.

Masih terngiang di beberapa daerah banyak persoalan korupsi yang menimpa para anggota DPRD tetapi tidak luput menyeret pejabat eksekutif juga seperti Kepala Daerah maupun Sekertaris Daerah. Mereka harus berurusan dengan penegak hukum lantaran menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Lalu apakah pejabat publik legislatif dan eksekutif dalam kasus ini benar-benar steril dari korupsi?

Kolusi Legislatif-Eksekutif?

Bambang Purwoko, dalam karya monumentalnya “Demokrasi Mencari Bentuk: Analisis Politik Indonesia Kontemporer menyebut bahwa, lingkaran kebohongan dan kongkalikong di tingkat eksekutif dan legislatif pada dasarnya terus bergulir, hanya saja gerak gerik para anggota dewanlah (legislator) yang selalu menjadi sorotan media massa. Sehingga, hanya mereka yang menjadi bulan-bulanan media massa dan mendapat kecaman berbagai pihak. Padahal, jangan lupa bahwa para pengambil keputusan di tingkat eksekutif juga kadang kala bermasalah.

Dalam banyak kasus, perkara korupsi kebijakan anggaran di parlemen daerah yang banyak terjadi belakangan ini karena persekongkolan itu. Sudah banyak bukti kuat adanya konspirasi yang dibangun dalam lingkaran para elit, tak terkecuali anggota parlemen dan pejabat birokrat pemerintah daerah. Ini dapat kita lihat dari data terakhir Kementrian Dalam Negeri sampai bulan Desember tercatat cukup tinggi, gubernur, bupati, walikota yakni sebanyak 343 orang yang tersangkut masalah hukum baik di kejaksaan, polisi, maupun KPK. Semua itu beririsan dengan masalah pengelolaan keuangan daerah (Kompas.com).

Benarlah  analisis Sunyoto Usman, guru besar sosiologi politik di salah satu universitas terkemuka di negeri ini, yang mengemukakan bahwa komponen yang paling banyak terlibat dalam kasus korupsi adalah birokrat dan politisi. Ke-dua komponen ini yang kadang kala melakukan tindakan terencana dan sistematis untuk meraup keuntungan dibalik kebijakan-kebijakannya. Untuk konteks kasus markup APBD yang jumlahnya tidak sedikit itu, bisa jadi permainan kongkalikong itu memang yang tengah terjadi. Para anggota legislatif menyusun kebutuhan anggaran yang manipulatif, dan di lain pihak pemerintah turut melakukan pendampingan dalam membuat perencanaan dan implementasi kebijakan tersebut.

Meminta Pertangung Jawaban Publik

Dalam keseluruhan proses perancangan dan pengalokasian APBD yang bermasalah itu, tentu anggota legislatif tidaklah sendirian yang bertanggung jawab. Maka sejatinya pihak berwenang tidak saja hanya menyasar para anggota parlemen yang diduga ikut terlibat, tetapi juga harus memastikan untuk memeriksa pejabat pemerintah setempat sebagai pertanggung jawaban sosial terhadap publik. Peran pimpinan DPRD memang terlihat sangat dominan, tetapi jangan lupa bahwa membengkaknya dana APBD, tentu tidak serta merta tidak diketahui pemerintah provinsi. Apalagi, secara kelembagaan hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah sejajar karena keduanya adalah bermitra dan mempengaruhi satu sama lain. Sehingga dana-dana siluman itu mungkin saja ada hubungan kerja sama diantara aktor-aktor dalam lembaga tersebut.
Kita tentu tidak ingin para wakil sekaligus pemimpin kita melakukan pembohongan publik dan memanfaatkan suatu posisi sosial itu untuk keuntungan pribadi, partai maupun kelompoknya. Apalagi sampai mengorbankan masyarakat. Sebab jika demikian yang terjadi, jalan untuk menyejahterakan masyarakat ujung-ujungnya pasti akan mengalami kegagalan. Saya demikian yakin bahwa baik para anggota dewan maupun pejabat pemerintahan, akan sangat sulit untuk mencapai target pembangunan yang maksimal dalam rangka peningkatan kapasitas sosial maupun infrastruktur ekonomi yang dibutuhkan daerah jikalau tindakan korupsi politik masih tertancap dengan kuat dalam tatanan politik pemerintahan di daerah.

Jika kita masih percaya pada ungkapan Kartini Kartono, bahwa korupsi adalah benalu sosial yang merusak sendi-sendi struktur pemerintahan dan menjadi hambatan paling utama bagi pembangunan. Maka sejatinya kita tidak perlu bersikap ramah lagi terhadap mereka yang dengan sengaja menghianati amanah yang diberikan rakyat itu. Untuk itu, di sini keterlibatan masyarakat sebagai alat kontrol sosial demikian diperlukan, karena semakin peduli kita terhadap persoalan korupsi, semakin terbuka pula berbagai ruang untuk mencapai cita-cita penerapan good governance, yang transparan dan akuntabel. Dengan begitu, ruang-ruang sosial dan iklim politik akan terasa lebih lapang dan setiap pribadi juga akan merasakan kebermanfaatan anggaran pembangunan menurut pilihan-pilihan kebutuhan rakyat di daerah.

Penulis : Mahyuddin, Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi UGM.
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • NETIZEN REPORT : MENYOAL KORUPSI BERJAMAAH DI PARLEMEN DAERAH

Trending Now

Iklan

iklan