Iklan


 

KELUARGA BENTENG PERTAMA PENCEGAHAN NARKOBA DI SATUAN PENDIDIKAN

Rabu, 22 Agustus 2018 | 01:56 WIB Last Updated 2018-08-26T21:39:44Z
Kepala Seksi Pencegahan, Pemberdayaan Masyarakat (P2M)
BNN Kabupaten Polewali Mandar, Sultan Sulaeman.,S.Sos
POLEWALITERKINI.NET – Mengantar anak ke sekolah, di hari pertama pernah menjadi instruksi yang amat popular dan disambut gembira para orang tua. Sebenarnya, instruksi itu berangkat dari sebuah upaya mengabrabkan orang tua dengan institusi pendidikan tempat anak-anaknya menimba ilmu.

BERITA TERKAIT : BNNK POLMAN BEKUK WANITA MILIKI SHABU TAWAU MALAYSIA!

Selama ini, ada indikasi bahwa orang tua benar-benar menyerahkan seluruh tanggung jawab mendidik anak pada satuan pendidikan. Dengan alasan tersebut, orang tua bahkan rela membayar mahal agar anak-anaknya bisa terdidik dengan baik.

Alasan membayar mahal inilah yang kerap dijadikan tameng yang membuat orang tua lepas tangan dari tanggung jawab mendidik. Jika anak-anak tidak terdidik dengan baik, hal pertama yang disalahkan adalah guru dan sekolah tempatnya belajar. Orang tua berdalih : “SAYA KAN SUDAH BAYAR…!?”

Di sekolah tempat anak saya, digagas pertemuan rutin bulanan dalam rangka membicarakan ragam hal. Pertemuan yang melibatkan orang tua dan guru itu adalah upaya dalam menggagas gerakan mendidik bersama, termasuk menyematkan kembali tanggung jawab mendidik pada pundak orang tua.

BERITA TERKAIT : WANITA MILIKI SHABU 75 GRAM NGAKU DIKENDALIKAN DARI?

Tanggung jawab yang saban waktu sudah mulai terlupa karena orang tua terlalu sibuk dengan kerja untuk nafkah. Hal serupa sudah dilakukan oleh banyak sekolah, di mana para orang tua memang diajak berpartisipasi aktif dalam rangka memastikan pendidikan anak-anaknya berjalan dengan baik.

Merujuk pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003. Satuan pendidikan berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan/belajar-mengajar. Tujuan yang diharapkan yaitu mengubah tingkah laku peserta didik ke arah yang lebih baik.

Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerja sama seluruh komponen. Keluarga adalah salah satu komponen utama yang diharapkan dapat berpartisipasi aktif. Sebab tantangan di masa kini dan masa depan tidaklah mudah. Ada banyak hal-hal destruktif yang mengincar anak-anak kita.

NARKOBA MASUK SEKOLAH
“INDONESIA DARURAT NARKOBA!” Demikian yang disampaikan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Pernyataan ini didasarkan pada temuan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menyebut bahwa narkoba telah menyebar ke seluruh pelosok negeri dan menyasar kalangan anak-anak.

Indonesia menjadi pasar potensial, menjadi lahan subur Jaringan Narkoba Internasional untuk beroperasi, mulai dari Afrika Barat, Iran, Tingkok, Pakistan, Malaysia, dan Eropa. Terungkap ada 60 Jaringan Narkoba yang dikendalikan oleh NARAPIDANA di 22 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang ada di seluruh Indonesia.

Tak cukup sampai di situ, angka prevalensi: jumlah keseluruhan kasus yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah, berada di kisaran 3,3 juta (1.77 %) dan meningkat setiap tahunnya.

Jika masalah ini terus dibiarkan akan menyebabkan hancurnya masa depan suatu bangsa (LOSS GENERATION). Apalagi angka penyalah guna narkoba di kalangan pelajar sudah berada di kisaran 27,32 % atau ± 800 ribu pengguna.

Dengan fakta tersebut, tak ada tawar-menawar, orang tua memang harus dipaksa terlibat dalam menghalau ancaman destruktif ini. Keluarga menjadi banteng pertama dan utama dalam memastikan setiap anggotanya bersih dari narkoba.

Sebab, jika keluarga telah melakukan kontrol lebih dini, satuan pendidikan menindaklanjuti dengan memberikan pengajaran dan pemahaman kepada peserta didik.

MEMAHAMI KONSEP DASAR PENCEGAHAN NARKOBA

Pencegahan adalah melakukan sesuatu sebelum masalah muncul. Dalam konteks penyalahgunaan narkoba, seluruh usaha ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkoba.

Di kalangan anak usia sekolah, ada beberapa tingkatan pengguna narkoba. Pertama, experimental use, mereka yang menggunakan narkoba sekadar memenuhi rasa ingin tahu. Hal ini biasa dipicu oleh tawaran teman-temannya.

Kedua, rekreational use, mereka yang menggunakan narkoba dengan tujuan sosialisasi pada saat berkumpul dengan teman-temannya.

Ketiga, situasional use, yaitu penggunaan untuk menghilangkan rasa tidak nyaman seperti nyeri, kecewa, depresi, dan kondisi mental lainnya.

Keempat, intensive use, penggunaan narkoba setiap hari yang berdampak pada gangguan fungsi sosial.

Terakhir, dependent use, yaitu penggunaan narkoba yang dipicu oleh dorongan untuk menggunakan kembali, sering disebut kecanduan atau ketergantungan.

Peran keluarga ada pada penyampaian informasi secara utuh dan menyeluruh. Bisa dengan memahamkan anak-anak bahwa narkoba sangat berbahaya. Level berbahaya karena kerusakan yang ditimbulkan oleh narkoba menyerang otak, sifatnya permanen dan tidak bisa disembuhkan.

Mereka yang terpapar narkoba hanya memiliki tiga tempat: rumah sakit, penjara, dan kuburan. Berkenalan dengan narkoba berarti membawa masa depan pada lubang kehancuran. Narkoba tak memberikan masa depan yang suram.

Efek yang ditimbulkan narkoba terhadap pemakainya dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu halusinogen, depresan, dan stimulan.

Rata-rata di kalangan anak-anak usia sekolah, jenis narkoba yang disalahgunakan cenderung memiliki efek depresan. Masuk dalam ketegori ini adalah alkohol, zat inhalansia (seperti aica aibon), dan methadone.

Ada juga jenis lain yang masuk dalam kategori bahan adiktif yaitu obat-obat keras (PCC atau mumbul) dan obat-obat yang bebas terbatas seperti komix. Segala arah saat ini amat terbuka, orang tua hars benar-benar memastikan dan menangkal segala bentuk pengaruh buruk yang disebabkan oleh narkoba.

Strategi pencegahan yang paling memungkinkan dilaksanakan di lingkungan keluarga sebagai bagian integral dalam membantu peran pendidik di satuan pendidikan adalah pertama, menciptakan budaya hidup sehat.

Hidup sehat harus menjadi misi keluarga. Sudah dipahami bahwa rokok telah menjadi pintu masuk potensial penyalahgunaan narkoba. Dari jenisnya, rokok sejatinya adalah narkoba sebab kandungan nikotin di dalamnya memiliki efek stimulan. Dari rokok, biasanya anak-anak berkenalan dengan narkoba jenis lain semisal ganja.

Kedua, membekali anak-anak dengan kemampuan bersosialisasi. Mungkin anak-anak kita  lahir dengan karakter yang introvert. Dia adalah sosok pendiam lagi penyendiri. Tak apa-apa, anak-anak bisa diajak berkenalan dengan teman-teman yang positif, bisa dari kalangan kolega atau keluarga dekat yang kita yakini sebagai pribadi baik yang pas untuk anak-anak kita. Kemampuan bersosialisasi ini akan mengarahkan anak-anak untuk memahami kehidupan social yang menuntut diri hidup berkelompok sebagai bentuk kebutuhan dasar.

Ketiga, kemampuan mengatasi masalah. Anak-anak dan remaja dengan tuntutan pendidikan di masa kini yang serba sulit, kadang mudah diterpa masalah, stres, bahkan depresi. Jika keluarga tidak kondusif, anak-anak akan dengan mudah mencari jalan pelarian.

Menjadi penyalahguna narkoba merupakan bentuk pelarian yang mengerikan. Orang tua, ayah dan ibu memang dituntut ekstra keras untuk menjaga anak-anaknya. Membekali anak-anak dengan kemampuan mengatasi masalah salah satu langkah efektif.

Praktisnya bisa dengan mengajak anak-anak berdiskusi dan berterus terang dengan apa yang dialami. Menanyakan aktivitas harian anak adalah langkah awal mengorek lebih jauh jika ada sesuatu yang tampak kurang pas. Orang tua harus menjadi kawan bukan lawan. Jadikan keluarga sebagai miniature berdemokrasi. Setiap suara dari anggota keluarga perlu didengar.

Keempat, membekali anak-anak dengan harga diri dan kepercayaan diri. Bagi orang-orang bugis, harga diri adalah “SIRI”. Implementasinya dengan menghadirkan rasa malu pada perilaku kurang etis, apalagi jika merugikan orang lain. Pemahaman tentang harga diri mengarahkan anak-anak sadar sebagai entitas yang tersambung dengan lingkungan keluarganya. Jika anak bermasalah tentu yang akan ditanya siapa orang tuanya, gurunya, dan hal lain yang bertalian dengan informasi tentang dirinya.

Kepercayaan diri penting dipupuk sejak dini.  Anak-anak yang tumbuh dengan tingkat kepercayaan diri yang memadai tidak akan terpengaruh dengan informasi yang salah terkait narkoba. Tiba-tiba ada yang menawari untuk mengonsumsi zat tertentu untuk meningkatkan kepercayaan diri, misalnya. Anak-anak yang percaya diri akan menepis, “SAYA BISA JUARA TANPA NARKOBA!” atau “SAYA TIDAK BUTUH NARKOBA UNTUK BERPRESTASI!”.

Seluruh bekal tersebut jika ditanamkan di lingkungan keluarga akan berkorelasi terhadap terbentuk kepribadian berkarakter bagi anak-anak. Dengan begitu, keluarga telah berperan sebagai banteng pertama pencegahan narkoba.

Di sinilah letak korelasinya. Anak-anak yang bermasalah di sekolah biasanya lahir dari linkungan keluarga yang tidak stabil. Stabilitas keluarga berefek pada kesuksesan satuan pendidikan dalam menempa anak-anak agar menjadi pribadi terdidik. Sampai di sini, dipahami bahwa peran guru penting, namun peran orang tua jauh lebih fundamental dalam upaya pencegahan narkoba.

Penulis : Sultan Sulaeman.,S.Sos (Kepala Seksi Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat (P2M) BNN Kabupaten Polewali Mandar).
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • KELUARGA BENTENG PERTAMA PENCEGAHAN NARKOBA DI SATUAN PENDIDIKAN

Trending Now

Iklan

iklan