![]() |
Bimo Dimas Arya Wardhana, S.Psi - Pemerhati Anak dan Praktisi Psychological Well-being.. (Foto : Dok. Bimo). |
PolewaliTerkini.Net - POLMAN - Baru-baru ini, ruang publik kita kembali diguncang oleh dugaan kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Ironisnya, terduga pelaku adalah seorang Kepala Dusun yang sekaligus menjabat sebagai Kepala Sekolah PAUD.
TERKAIT; Dugaan 4 Anak PAUD Batetangnga Dilecehkan, KOHATI HMI Polman Desak APH Tindaki
Dua posisi seharusnya menjadi benteng perlindungan utama bagi anak-anak di lingkungannya.
Kasus ini saja sudah cukup untuk membuat kita miris. Namun, lebih memprihatinkan adalah, munculnya narasi-narasi di ranah publik yang tidak hanya gagal menunjukkan empati, tetapi juga secara aktif merendahkan dan menihilkan penderitaan korban.
TERKAIT; Dugaan Cabuli 4 Anak PAUD, Sekjen KAMMI Mandar Raya Kecam
Sebagai pemerhati anak dan praktisi di bidang psychological well-being, saya merasa terpanggil untuk meluruskan beberapa pemikiran dangkal yang sangat berbahaya bagi korban dan penegakan keadilan.
Salah satu narasi yang beredar adalah upaya mengaitkan pelaporan kasus kekerasan seksual ini dengan kasus lain yang sedang terjadi di Desa tersebut.
Misalnya, kasus dugaan korupsi dana Desa. Logika ini sesat dan berbahaya. Muncul argumen bahwa laporan ini hanyalah "Pengalihan isu" untuk menutupi kasus lain.
Mari kita tegaskan satu hal: penderitaan seorang anak tidak boleh dan tidak akan pernah bisa menjadi alat politik atau pion dalam pertarungan kepentingan orang dewasa.
Apapun kasus lain yang sedang terjadi, laporan kekerasan seksual terhadap anak harus diperlakukan sebagai prioritas utama yang berdiri sendiri.
Menganggapnya sebagai pengalihan isu sama saja dengan mengatakan, bahwa luka dan trauma seorang anak tidak lebih berharga dari "Nama baik kampung" atau kepentingan politik sesaat.
Selanjutnya, muncul keraguan terhadap laporan korban karena minimnya bukti fisik seperti video atau rekaman, serta mempertanyakan hasil visum yang mungkin tidak menunjukkan bukti penetrasi.
Ini adalah cerminan ketidakpahaman mendalam tentang karakteristik kekerasan seksual pada anak.
PERTAMA, meminta bukti rekaman dari seorang anak yang mengalami trauma adalah permintaan absurd dan tidak manusiawi.
Anak berada dalam posisi rentan, di bawah ancaman, dan sering kali tidak memahami sepenuhnya apa yang terjadi pada mereka.
KEDUA, hasil visum yang "Negatif" atau tidak menunjukkan luka fisik bukan berarti kekerasan seksual tidak terjadi.
Kekerasan seksual memiliki spektrum yang luas, tidak selalu dalam bentuk penetrasi yang meninggalkan jejak fisik.
Sentuhan tidak pantas, paksaan untuk melakukan tindakan seksual, dan eksploitasi lainnya adalah bentuk kekerasan yang sama merusaknya, meskipun tidak meninggalkan bekas luka yang kasat mata.
Bukti utama dalam banyak kasus seperti ini adalah keterangan korban dan bukti-bukti psikologis yang menyertainya, seperti perubahan perilaku, ketakutan, dan depresi.
Ketika masyarakat. Bahkan, sebelum proses hukum berjalan, sudah melabeli laporan korban sebagai hoaks, kebohongan, atau pengalihan isu, kita sedang melakukan Viktimisasi Sekunder (Secondary Victimization).
Artinya, korban yang sudah terluka oleh pelaku, dilukai kembali oleh sistem dan lingkungan sosialnya.
Stigma, keraguan, dan tuduhan yang dilontarkan publik akan membungkam korban-korban lain untuk berani bersuara.
Mereka akan berpikir, "Untuk apa saya melapor jika pada akhirnya saya yang tidak akan dipercaya dan justru disalahkan?".
Kasus ini seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Reputasi sebuah institusi atau nama baik sebuah Desa tidak akan pernah lebih penting daripada keselamatan dan kesehatan mental seorang anak.
Justru, sebuah komunitas yang sehat dan beradab adalah komunitas yang berani mengakui adanya masalah dan sigap melindungi warganya yang paling rentan, bukan malah menyembunyikannya di bawah karpet demi citra semu.
Aparat Penegak Hukum (APH) harus mengusut tuntas kasus ini dengan perspektif yang berpihak pada anak.
Sementara itu, kita sebagai masyarakat harus berhenti menyebarkan spekulasi liar yang hanya menambah beban penderitaan korban dan keluarganya.
Mari ciptakan ruang yang aman bagi korban untuk bersuara, mendapatkan keadilan, dan memulihkan traumanya.
Karena, melindungi anak adalah tanggung jawab kita bersama, tanpa syarat dan tanpa kompromi.
Oleh: Bimo Dimas Arya Wardhana, S.Psi - Pemerhati Anak dan Praktisi Psychological Well-being.